RENUNGAN untuk para DOSEN dari Dr. Lukito
(dosen pasca sarjana teknik elektro UGM).
"Berilah Kami Kepercayaan"
Sebagai
dosen, akhir-akhir ini saya merasa ada yang salah dalam menjalankan
kegiatan-kegiatan saya. Seharusnya aktivitas-aktivitas saya akan
menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman di bidang keilmuan saya, tapi
ternyata tidak. Akhir-akhir ini saya malah merasa menjadi mahir dalam
melacak dokumen-dokumen SK, sertifikat seminar, prosiding-prosiding
seminar yang pernah saya ikuti, dan sebagainya.
Saya juga trampil
dalam mengoperasikan mesin fotokopi dan scanner, tidak kalah dengan
karyawan fotokopi beneran. Teman-teman saya juga begitu, apalagi
hari-hari ini mereka yang mengusulkan kenaikan jabatan harus berkejaran
dengan waktu karena mulai Mei 2014 nanti Dikti akan menerapkan aturan
baru dalam kenaikan pangkat/jabatan yang, tentu saja, lebih sulit
dan strictdibandingkan dengan aturan saat ini.
Sungguh hari-hari
ini mereka berubah menjadi pekerja administratif dan bukan pengawal
kemajuan intelektual SDM. Semua ini berubah gara-gara negata api
menyerang…eh bukan. Gara-gara aturan-aturan yang didasari oleh cara
pandang yang tidak bisa saya pahami dengan baik (saya gagal paham, kata
anak-anak muda sekarang).
Mari kita lihat sebagian kecil saja di
antaranya. Pertama, berbagai aturan pelaporan kinerja dosen: BKD, SIPKD,
SKP, dan sebagainya. Memang (katanya) tujuannya untuk meningkatkan
akuntabilitas dosen, tapi saya merasa kalau si pembuat aturan itu
berkata pada saya seperti ini,”Hai Lukito, kamu WAJIB melaporkan
kegiatanmu agar kami tahu bahwa kamu sudah bekerja dengan baik.”
Bagaimana
tidak? Aturan-aturan itu dikeluarkan bersamaan dengan ancaman: jika
tidak melaksanakan maka akan ada akibat ini dan itu. Ada intimidasi di
sana.
Coba lihat pula apa yang harus dilakukan oleh dosen untuk
memenuhi sistem-sistem pelaporan tersebut: mereka harus mengumpulkan
bukti-bukti kegiatan yang mereka lakukan. Saya bilang, ini adalah
tindakan yang sangat heroik. Mereka harus membongkar lemari arsip
kepegawaian, lalu berebut mesin scanner karena didesak tenggat waktu,
dan setelah itu mengunggahnya ke sistem yang ternyata mati suri sampai
sekarang (SIPKD). Bukankah itu awesome sekali karena yang melakukannya
adalah dosen.
Contoh kedua, tentang proses kenaikan
jabatan/pangkat. Entah alasannya apa, tapi dosen yang akan mengusulkan
karya-karya ilmiah mereka di jurnal maupun prosiding seminar diminta
untuk mengumpulkan dokumen jurnal/prosiding aslinya (hardcopy). Atau
batasan kepantasan, bahwa seorang dosen hanya boleh mengusulkan sekian
karya ilmiah dalam satu rentang waktu tertentu. Saya juga merasa gagal
paham di sini.
Sekarang sudah jamannya digital, mengapa harus
menggunakan hardcopy? Saya juga punya beberapa mahasiswa S2 dan S3 yang
cukup produktif menulis sehingga kami secara bersama-sama bisa
menghasilkan tulisan dalam jumlah yang cukup banyak dalam satu periode
waktu tertentu. Haruskah ini dibatasi?
Sekali lagi, ada aroma
kecurigaan yang cukup kental di sini. Dosen diminta mengirimkan dokumen
hardcopy aslinya karena kalau hanya fotocopy saja mudah dipalsu
(apalagi kalau hanya dalam format digital). Dosen juga tidak mungkin
menghasilkan tulisan lebih dari 2 jurnal dalam setahun, karena jika
lebih dari itu, pasti menulisnya asal-asalan saja dan dimuat dalam
jurnal abal-abal.
Masih banyak lagi contoh aturan yang dibuat
dengan cara pandang yang didasari oleh kecurigaan. Memang ada
oknum-oknum dosen yang memang ngebet sekali memanfaatkan kesempatan
dalam kesempitan. Dari melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat
secara fiktif sampai memalsu satu volume jurnal dan memasukkan
tulisannya sendiri dalam cetakan palsu yang dibuatnya.
Sungguh
trik-trik curang yang menakjubkan! Mungkin hal-hal semacam inilah yang
kemudian membuat pihak-pihak yang berwenang mengambil
kesimpulan,”Oh…ternyata dosen itu tidak bisa dipercaya…”
Dan
akhirnya cara pandang itulah yang terefleksikan dalam aturan-aturan
tersebut. “Agar semuanya tertib dan tidak ada penyimpangan, maka semua
hal harus dilaksanakan secara strict dan rinci. Harus begini dan begitu,
tidak boleh begini dan begitu.”
Well…saya jadi teringat anak
laki-laki saya. Dia dulu paling sulit disuruh belajar. Bapak ibunya
sampai bosan tiap hari menyuruh dan mengingatkan, dia tidak kunjung
sadar untuk belajar secara teratur, padahal saat itu dia akan menempuh
ujian sekolah. Akhirnya kami ubah caranya. Kami beri dia kepercayaan
untuk menentukan bagaimana cara dia belajar dan hanya memberi pengertian
bahwa mencari sekolah yang baik itu sulit. Terserah dia untuk
menentukan, kami hanya memperhatikan saja. Ternyata di luar dugaan, anak
saya malah jadi rajin belajar dan bisa menunjukkan kinerja yang baik
dan akhirnya bisa diterima di sekolah tujuannya.
Memberikan
kepercayaan ternyata lebih efektif daripada mengontrol secara detil.
Jika prinsip ini berlaku di lingkungan keluarga, mestinya berlaku pula
untuk lingkungan yang lebih besar dan luas. Bisakah kinerja dosen juga
akan meningkat jika mereka diberi kepercayaan dan didukung secara tulus?
Saya
bukan psikolog, tetapi saya yakin bahwa secara naluriah, orang yang
diberi kepercayaan memiliki peluang yang lebih besar dalam berkinerja
secara lebih baik, dibandingkan dengan orang yang kerjanya diatur
secara rigid bak robot. Prestasi yang lebih tinggi muncul karena mereka
memiliki motivasi internal yang lebih tinggi, juga rasa nyaman serta
tenang dalam bekerja.
Pertanyaannya: bisakah kita menggunakan
asas positive thinking (mengawali dengan kepercayaan) dalam mengatur
dosen di Indonesia? Kekhawatiran terhadap efektivitas cara pandang ini
memang beralasan karena sudah terbukti ada oknum-oknum yang curang dan
berniat tidak baik? Tentu saja pengaturan tetap diperlukan untuk
mencegah timbulnya anarki atau chaos, tetapi cara pandangnya berbeda.
Kali
ini, peraturan dibuat dengan berasumsikan bahwa dosen itu baik dan bisa
dipercaya, kecuali kalau terbukti sebaliknya. Saya yakin cara pandang
ini akan sangat menyederhanakan berbagai prosedur dan sistem karena
orang baik tidak memerlukan banyak pengaturan.
Proses-proses
birokrasi akan menjadi ramping dan efisien. Dosen tidak harus nglembur
mencari prosiding seminar yang entah sekarang ada di mana, atau
“memperkosa” scanner dengan setumpukan SK, sertifikat, dll.
Semua
pihak, termasuk dosen, dapat menghemat tenaga, waktu, dan biaya, dan
yang lebih penting, mereka bisa berkonsentrasi pada tugas-tugas
utamanya. Bagaimana kalau ada oknum yang nakal? Yang jelas, kepercayaan
yang diberikan harus digunakan dengan baik. Bila ada yang mengkhianati,
hukumannya harus cukup berat sehingga menimbulkan efek jera.
Dosen
pemalsu jurnal kalau perlu dipecat dari jabatannya. Satu lagi
syaratnya: harus konsisten dalam menerapkan aturan. Kalau terbukti
memalsu jurnal atau melakukan plagiasi, tidak peduli dosen rakyat kecil
atau dosen dewa di kahyangan harus dihukum setimpal. Equality before
lawharus diterapkan secara konsisten.
Saya mencoba berempati pada
dosen Indonesia. Mereka itu ibaratnya anak saya dalam cerita di atas.
Saat ini mereka sedang tidak dipercaya oleh bapaknya. Kehidupan mereka
diatur dan diawasi secara detil.
Sebenarnya ada rasa tidak suka
diperlakukan seperti itu, tetapi mereka tidak kuasa menolak karena
sepertinya cara pandang yang sama juga berlaku umum di Indonesia, tidak
hanya untuk dosen saja.
Lihat saja di jalan-jalan raya. Mengapa
harus dipasang divider beton? Itu karena para pengemudi dianggap tidak
bisa dipercaya: mereka pasti akan melanggar marka jalan, saling serobot,
dsb. Di depan loket-loket misalnya, selalu ada pembatas antrian karena
tipikal para pengantri adalah suka menyerobot posisi orang lain.
Ada
harapan kepada bapaknya dosen, bisakah memberi kepercayaan kepada para
dosen tersebut? Bisakah aturan-aturan dibuat dengan landasan
kepercayaan? Mungkin si bapak merasa ragu karena berdasarkan pengalaman
masa lampau, banyak sekali oknum nakal yang membuat repot si bapak. Tapi
bukankah memang itu tugas bapak untuk membina si anak agar tidak nakal
lagi?
Bapak tidak boleh kalah dari anaknya. Bapak harus mencari
cara yang jitu, karena di situlah sebenarnya peran penting bapak. Kalau
tidak mau melakukan itu, lebih baik jangan menjadi bapak.
Yang
jelas, sebagai anak, saya akan sangat respek kepada bapak saya jika dia
bersedia memberi kepercayaan kepada saya. Saya akan balas itu dengan
kinerja yang baik, tanpa harus dimonitor dan diawasi secara berlebihan.
Dan saya yakin, mayoritas anak memiliki pandangan yang sama. Jadi,
berilah kami kepercayaan, bapak…
(sumber : Milis Tetangga) - GENSEI